A.
Perspektif
Filosofis Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif
adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai
subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan
pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian
dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari
aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai
penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber,
tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari
sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi,
ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di
kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara
eksplisit.
Terdapat sejumlah
aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi,
Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah
yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia
sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem
makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.
Dalam Interaksionisme
simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas
lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini
ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran
utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada
interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku
sosialnya.
Paradigma kualitatif
meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu
terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya
berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian
kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah –
bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis,
paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan
tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan
verifikasi.
Dalam penelitian
kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding
dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul
data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam
proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses
analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi
analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation).
Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep
dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak
dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan
cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara
pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi
analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya,
kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
Setiap
kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas
pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar
penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari
sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan
lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek
dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai
pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua
obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga
diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah
yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka
pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang
cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak menggunakan istilah atau
penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna
menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan
dikemukakan penamaan yang dipakai para akhli dalam penyebutan kedua istilah
tersebut.
Sementara
itu Noeng Muhadjir mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli
tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research,
ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik,
heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena
perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin
ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi
dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini
diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California
yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu soaial
Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan
antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan , interaksi simbolik lebih
berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma
naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh
pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry)
Secara lebih rinci Patton mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry)
istilah
yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila
dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam
suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh
karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua
paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist
(penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif),
ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba
menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer,
namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki
perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran
praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak
kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat
lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau
metode kualitatif dengan memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan
diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun
dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana dan
hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan
epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian
kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik
(fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut,
berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.
a.
Positivisme
Positivisme merupakan
aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte
seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia seorang
yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan
teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill (juga seorang
akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus filsafat
positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik positif).
Salah satu buah
pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif.
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini
manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala
kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia
hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar
dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi
yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan
tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan
ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau
Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah
kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa
bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan
berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia
sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan
pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta,
pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam
semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan
ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu
menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya
untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam
hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan
tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme
mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari
pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua
tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu
filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta
saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin)
tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu
yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki
dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara
gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte
menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang
bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata
bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
b.
Fenomenologi
Edmund Husserl adalah
filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov
Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada
tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi,
dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,
sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara
tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen
(Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und
Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni
dan filsafat fenomenologi)
Dalam faham fenomenologi
sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada
benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat
gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian
dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara
kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan
obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan
sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu
diandaikan tiga hal yaitu : ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka
terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu
berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat
interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada
hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh
kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat
obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek
diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu
dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu
yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang
harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang
obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah
ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu
yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau
reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin
No comments:
Post a Comment