"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain
yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."
- Immanuel Kant
BANGSA
kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan
melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal.
Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi.
Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi
dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat
minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung
fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan
umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari
konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap
minimalis.
DEMOKRASI
per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman,
adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang
diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada
para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif,
legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang
diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik.
Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus
diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya.
Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat
sentral.
Bila
demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan
kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara
publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat
menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif
dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep
ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak
memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis.
Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah
Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya"
di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita"
menjadi mungkin.
Dalam
teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak
umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh
rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap
dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu
lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat
kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah
masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup
dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang
publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam
masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.
A. Ruang publik politis
Dalam
masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat"
dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik
"hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam
sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus
ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem
masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui
sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di
antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain,
kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi"
tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam
sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam
masyarakat luas.
Jika
interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi
baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik
politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar
konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era
globalisasi ini.
Dalam
karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur
Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai
kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk
opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?
Pertama,
partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita
menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten
digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat
berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.
Kedua,
semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama
untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra
komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan
bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri
mereka.
Ketiga,
harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi
dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus
dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik
politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2).
Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme,
toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan
itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.
Di
manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam
masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan
masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem
ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas
sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen
solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom
yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.
Dalam
era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan
adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh
pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi,
dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan
finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi
internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari
pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus
dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam
forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul
mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari
intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang
publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi,
dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis
interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di
warung-warung, dan seterusnya.
Berbeda
dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan
homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis
seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya
dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek
kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada
aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam
ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat
sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang
terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan
keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal
dari wilayah privat (3).
Masyarakat
sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik
politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis
yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh
"pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi
sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya),
"privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas"
(struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).
B. Fungsi ruang publik politis
Di
dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik
dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa
secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan
merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah
saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara
sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik,
sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.
Masih
basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden
terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto
untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi
dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem
administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis
dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili
volonte generale.
Negara
Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas
dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap
masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang
menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto
lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang
menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasinya: rakyat.
Dalam
negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem
alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia
menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu,
kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan
orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta
sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik
politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan
ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya
masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok
solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam
ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh
negara.
Ruang
publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan"
memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena.
Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di
hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu
sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di
masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di
hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti
bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan
birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan
menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.
Tentu
sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya,
ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat
kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita
membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya.
Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe
ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).
Tipe
pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang
terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi
nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini
terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam
tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan
mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan
proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah
contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya
ruang publik politis di negeri kita.
Para
aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang
mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang
setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal.
Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic
courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini
tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan,
atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya,
tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan
pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang
memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang
publik autentik.
Tipe
kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas
keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi
loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda
dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang
sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan
kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup
dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam
masyarakat yang menjalankan kesehariannya.
Setelah
gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun
1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan
birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi
ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para
pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari
budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi
politis, dari watak massa ke komunitas.
Di
dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat
setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat
berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak
hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik
itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan
yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin
lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan
seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan
kepublikan seluas-luasnya.
C. Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik
Sudah
dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka
kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam
revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara
hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak
lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem
politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.
Menurut
Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi
komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6).
Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan
besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat
kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban,
minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan
sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem
politik dapat menjelaskan itu.
Dalam
ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik
dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini
sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang
rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis
berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus
baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak
terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat
diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara
memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan,
kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga
dapat dianggap tak ada.
Di
sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur
demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter
sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika
lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja
dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi
opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik
tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.
Segala
yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian
publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja
manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti
misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem
dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang
selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan
terbukti sebagai manipulasi.
Tidak
dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis
ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik
politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga
lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali
lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini
yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.
Kita
menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa
dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan
rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya
filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri.
Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam
masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif
memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai
provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah
mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni,
gaya hidup, atau erotisme.
Jika
publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara
argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu
mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik
mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih
menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik
akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh
kualitas publik itu sendiri.
Perjuangan
mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu
opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik
terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda
daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir
ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses
mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden,
kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.
Filter
sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan
produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari
hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan
sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga
tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang
masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem
legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk
hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis
diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.
Suatu
masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat
kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus
diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang
memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah,
tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk
memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu
sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan
menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu.
Ini terjadi dalam totalitarianisme.
Sebuah
negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun
kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen
dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan
hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber
loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini
adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara
sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.
Ide
tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat
merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan
rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk
memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum
demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati,
tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap
batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya
untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.
Pemahaman
tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi
langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus
menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya
dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi
representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan
kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat
dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem
politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat
majemuk.
Catatan: F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan.
DAFTAR RUJUKAN
1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38
2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15
3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443
4. Budi Hardiman, hlm 52
5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57
No comments:
Post a Comment