A. Hubungan Sistem Politik dan Sistem Komunikasi
Sistem
politik dan komunikasi merupakan dua istilah yang selalu beriringan dan
berhubungan satu sama lain. Suatu sistem mengandung unsur-unsur
(sub-sistem) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Pengertian
sistem politik seperti yang dikemukakan David Easton (dalam Masfadi
Rauf, 1993) adalah seperangkat interaksi yang diabsraksikan dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai otoritatitatif dialokasikan kepada
masyarakat. Sebagai suatu sistem, maka sistem politik terdiri dari
subsistem-subsistem yang mempunyai fungsi tertentu. Subsistem-subsistem
itu dikenal dengan struktur politik yang terdiri dari infrastruktur
politik dan suprastruktur politik. Untuk berjalannya suatu sistem
politik, maka diperlukan suatu mekanisme, dimana setiap struktur politik
dapat berhubungan atau berinteraksi dengan struktur politik lainnya
berdasarkan fungsi yang melekat pada setiap struktur politik.
Interaksi
di antara struktur-struktur politik dalam suatu sistem politik itu
dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komunikasi, meskipun tidak
selamanya dan tidak semua unsur suatu sistem komunikasi merupakan
bagian struktural dari sistem politik. Oleh karena itu setiap sistem
politik mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri. Karenanya
sudah barang tentu bahwa setiap negara dengan sistem politiknya yang
yang berlainan akan menampilkan pola-pola komunikasi yang berbeda.
Walaupun
demikian demikian, bila kita kelompokkan, sistem politik ke dalam dua
sifat yaitu sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang tidak
demokratis/totaliter, maka akan terlihat dua pola yang komunikasi yang
berbeda.
Pertama, pada sistem politik yang demokratis akan terlihat pola komunikasi politik tatap muka Oleh Dan Nimmo (1984) disebut dengan pola komunikasi dari satu kepada satu. Dalam proses komunkasi tatap muka pembicaraan politik merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari, sehingga membentuk partisipasi politik yang tergolongkan aktif. Tingkah laku komunikasi masyarakat seperti itu tercipta berkat adanya suatu iklim politik yang bebas dan demokratis. Masyarakat dengan bebas dan tanpa rasa takut berbicara tentang kehidupan dan proses politik, didukung oleh keterbukaan informasi melalui media massa.
Pola yang kedua, yaitu pada sistem politik totaliter menampilkan komunikasi politik satu kepada semua, di mana pembicaraan politik lebih banyak ditemukan dalam media massa khususnya surat kabar. Itupun sudah merupakan kesempatan yang sangat berarti manakala anggota masyarakat dapat menyampaikan pikiran-pikirannya melalui surat kabar. Secara keseluruhan, pemikiran politik melalui surat kabar tersebut didominir oleh elite politik yang berkuasa. Dengan kata lain, surat kabar digunakan sebagai alat propaganda politik yang paling penting dalam kehidupan politik. Pembicaraan politik secara tatap muka jarang bahkan tidak ditemui dalam sistem politik jenis ini. Masyarakat tidak dapat melakukan pembicaraan politik, di samping karena ketatnya sistem politik, juga karena derajat kebebasan dan kertebukaan dalam kehidupan politik relatif rendah termasuk di dalamnya kebebasan dan kemandirian media massa, partai politik/kelompok kepentingan. Iklim seperti itu jelas tidak dapat memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat untuk melakukan pembicaraan politik secara bebas dan terbuka.
B. Pola Hubungan Pers dengan Sistem Politik
Sistem
pers, merupakan bagian atau subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan
sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem
sosial. Oleh karena itu untuk mengetahui sistem pers kita tidak bisa
lepas dari bentuk sistem sistem sosial dan bentuk pemerintahan
pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu berada. John C. Merrill (dalam Rachmadi, 1990) secara lebih tegas menyatakan, bahwa ”a nation’s press or media sistem is closely tied to the political sistem”.
Dari
dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita
mengenal empat macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang
masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers
itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm
(1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.
- Teori Pers Otoriter (authorian)
Teori
otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa
bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori
ini media massa berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah
dengan kekuasaan untuki memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh
karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media
massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah
pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan
raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam
sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat
berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya
sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat
tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah
negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi
masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan
kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus
terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan.
Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem
kontrol yang efektif dan menggunakan media massa sebagai alat penguasa.
Sistem
politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. A
Muis (2005) mengatakan negara-negara yang menganut teori pers otorian,
seperti Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap
kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21
tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi
kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk mengatur
pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.
- Teori Pers Liberal
Sistem
pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas
sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam
pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).
Menurut
teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah
untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim
kebebasan menyatakanpendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila
terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia
pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh
ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan
tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk
yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat
mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh
karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur
utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan
istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat lebertarian
ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah
untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual.
Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham leberal memandang
sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau
merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh
manusia dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai
kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam
usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan
kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya
dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui
pers.
Sistem
politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya
UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan
tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas
kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal.
Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan
negara, namun dipergunakan sebagai terompet partai. Banyak surat kabar
yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik
waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,
CV Haji Masagung, Jakarta). Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat
kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral
(memperjuangkan kepentingan bangsa).
- Teori Pers Komunis
Teori
ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem
komunis di Uni Sviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx
tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori dialektika Hegel.
Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak dapat
dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni
Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah pers
totalitar soviet atau pers komunis soviet.
Dalam
teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan
bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus tunduk
pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media
massa pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai
alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam media
massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Media massa
melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan
apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan media massa
untuk mendukung komunis dan negara sosialis mwerupakan perbuatan moral,
sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis
adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat
untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang
dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya
pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa
kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau
pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan
kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para
pembacanya.
- Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab sosial ini
muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap
kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan
kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah
kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori
ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa
bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi
dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini
sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya,
yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat
kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers.
Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk
menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan
kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan
”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini
dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat
modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya
tanggung jawab sosial dari setiap media komunikasi.
Para
pemilik media pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap
fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat
menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan
kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang
dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain,
seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada
masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam
mencukupikeuangan media-media individu tertentu, hendaknya diberikan
kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore
Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab
sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa
”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers
mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna
melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa
dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”. Uraian peterson ini
mengandung makna bahwa teori ini berorientasi kepada mementingkan
kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. Misalnya
pengertian mengenai siapa yang berhak menggunakan media massa, oleh
teori tanggung jawab sosial, dianggapnya bahwa bahwa setiap orang
mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Dan hak kontrol dari media yang
diberikan kepada kelompok-kelompok sebagai pendapat masyarakat,
tindakan-tindakan konsumen, dan nilai-nilai profesi.
Sejak
sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara
normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial. Berbeda
dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi
kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun
1999 memberi kewenangan kontrol kepada
masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no
40 tahun 1999 yang berbunyi:
Pasal 15
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh
masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang
lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan
pers.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
d. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
e. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Daftar Pustaka
A Muis, 2005, Gejolak Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005
Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.
F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Gramedia, Jakarta.
Dan Nimmo, 1984, Komunikasi Politik, Rosdakarya, Bandung.
Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.
No comments:
Post a Comment